KEBERLANJUTAN SUMBER DAYA PANGAN LOKAL



KEBERLANJUTAN SUMBER DAYA PANGAN LOKAL
(Studi Keberlanjutan Pangan di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah)
Oleh: Ahmad Munir, 1306501210

1. Latar Belakang
Isu kelangkaan menjadi isu yang dihadapi dunia (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2010). Pangan akan tetap menjadi problematik penting dan senantiasa harus dipecahkan, dalam upaya mewujudkan sumber daya mausia berkualitas (Rahardjo, 1997). Masalah pangan yang dihadapi Indonesia adalah ketidakmampuan menyediakan pangan, khususnya bahan makanan pokok secara mandiri. Faktor utamanya tentu disebabkan oleh rendahnya kemampuan produkai pangan dalam negeri, akan tetapi konsumsi dan kebutuhan terhadap pangan meningkat. Sehingga kebutuhan pangan berketergantungan terhadap impor, dibanding hasil pertanian domestik (dalam negeri). 
Tingginya ketergantungan pada sumber pangan impor menyebabkan Indonesia masuk dalam daftar Negara rentan pangan ke dari seluruh Negara di dunia. Padahal agenda dunia dalam memberantas masalah kelaparan tidak lepas dari Negara pertanian di dunia. Jawa Tengah sebagai salah satu provinsi dengan jumlah penduduk terbesar ke-3 memberi sumbangan yang nyata pada ketahanan dan keberlanjutan pangan di Indonesia.
Indonesia secara umum tidak memiliki masalah terhadap ketersediaan pangan. Indonesia memproduksi sekitar 31 juta ton beras setiap tahunnya dan mengkonsumsi sedikit diatas tingkat produksi tersebut, dimana impor umumnya kurang dari 7% konsumsi (World Bank, 2005). Produk pangan yang paling berkaitan dengan ketahanan pangan nasional salah satunya adalah beras. Menurut Badan Pusat Statistik (2010) menyebutkan pada tahun 2030 kebutuhan beras di Indonesia mencapai 59 juta ton. Luas tanam padi tahun 2007 sekitar 11,6 juta hektare, maka untuk mendukung kebutuhan beras tersebut diperlukan tambahan luas tanam baru 11,8 juta hektare. Tiap tahun terjadi konversi lahan sawah sebesar 100.000 ha (termasuk 35.000 hektare lahan beririgasi) (Badan Pertanahan Nasional, 2010; X, 2010). Jadi jelas, kebutuhan pangan meningkat dan produksi pangan tidak mampu memenuhi kebutuhan yang diperlukan.
Ketahanan pangan berbasis pangan lokal menjadi salah satu alternatif. Ketergantungan Indonesia pada impor beras adalah salah satu masalah pokok lainnya. Produk pangan impor akan mengalami kenaikan terus menerus, apabila produk pangan lokal tidak ditingkatkan. Impor idealnya terjadi apabila produk dalam negeri terbatas, sedangkan kebutuhan domestik meningkat. Peningkatan produksi dalam akan mengurangi jumlah impor. Sehingga peningkatan produk pangan lokal sangat diperlukan. Sementara ini data produk impor terus mengalami kenaikan sesuai Tabel 1 berikut:
Tabel 1. Ketersediaan Pangan dan Neraca Impor Pangan Nasional
No Tahun Ketersediaan Pangan Penduduk (Kilo kalori/ hari) Tahun Impor Beras (Juta US Dollar)
1 1970-1972 2090 1988 837.9
2 1980-1982 2510 1992 1389.9
3 1990-1992 2698 1993 1307
4 2000-2002 * 1995 2846
5 2007 2050.31 2000 3208
Sumber: (FAO RAPA, 1996) dan (Badan Pusat Statistik, 1997; Rahardjo,1997)
Peningkatan ketersediaan pangan penduduk yang sejalan dengan peningkatan nilai ekspor menunjukkan bahwa produk pangan dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Ketahanan pangan nasional melalui swasembada beras tahun 1984, tidak serta merta menghentikan produk pangan impor. Jadi ketergantungan pada impor adalah masalah ketahanan pangan nasional.
Jumlah penduduk mengalami pertumbuhan yang pesat. Kondisi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk berpengaruh pada perubahan tutupan lahan. Dampaknya terjadi kerusakan lahan, yang berakibat pada penurunan produktivitas pangan lokal. Menurut Thayeb (2014), meningkat pesatnya jumlah penduduk di Indonesia mengharuskan dilakukan usaha meningkatkan produksi pangan nasional. Penduduk bahkan telah menempati areal yang tidak diperuntukkan untuk pemukiman dan pertanian.
Salah satu solusi dari masalah pangan nasional adalah dengan meningkatkan produk pangan lokal. Pokok masalahnya adalah pangan lokal yang berbasis pada pertanian lokal, saat ini menghadapi ancaman nyata, berupa perubahan iklim. Intensitas gagal panen yang meningkat seiring dengan kenaikan intensitas curah hujan di beberapa lokasi di Indonesia. Ancaman terhadap sumber pangan lokal juga meningkat sebanding dengan kenaikan gejala cuaca ekstrim. Sehingga bidang pertanian yang menghasilkan produk pangan lokal menghadapi ancaman paling nyata. 
   
Gambar 1: Kerentanan Pangan Akibat Dampak Perubahan Iklim di Provinsi Jawa Tengah (DNPI, 2013)
Berdasarkan pada Gambar 1, terlihat bahwa kerentanan pangan di Jawa Tengah tergolong tinggi dalam skala nasional. Pada skala yang lebih detail, kabupaten Wonosobo termasuk prioritas menengah. Jadi dalam kaitanya dengan ketahanan pangan akibat perubahan iklim, maka Kabupaten Wonosobo termasuk dalam kategori cukup rentan. Padahal amanat peraturan pemerintah tahun 2000, ketahanan pangan daerah berkontribusi ketahanan pangan nasional (World Bank, 2005). Sehingga bidang ketahanan pangan perlu upaya mitigasi dan adaptasi di bidang pertanian khususnya di wilayah sumber pangan.
Dataran  Tinggi Dieng (Dieng Highland) dan Plato Dieng (Dieng Plateau) adalah salah satu kawasan penghasil produk pangan penting di Jawa Tengah. Bentang alam hasil aktivitas teknonisme menjadi lahan pertanian subur, yang terbentang cukup luas hingga mencakup empat wilayah kabupaten yaitu Wonosobo, Banjarnegara, Pekalongan dan Batang. Fakta lainnya, di kawasan Dataran Tinggi Dieng memiliki keunikan dan berbagai jenis tanaman endemic. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan kawasan tersebut sangat rentan pada perubahan kondisi alam, misalnya curah hujan dan angin. Tambunan (2010) menyebutkan dataran tinggi (plateau) yang mempunyai ketinggian rata-rata diatas 1.000 m dpl, mempunyai suhu yang dingin (sejuk) dan mempunyai curah hujan tinggi (>3.000 mm per tahun). Secara geomorfologis merupakan ekosistem bentanglahan (landscape ecology) yang unik yang tidak ditemukan ditempat lain. 
Tambunan (2002) menjelaskan Dieng pernah tumbuh menjadi lokasi pertanian yang makmur. Data produktivitas tanaman kentang di Dieng tahun 1972 mengalami kenaikan yang drastis. Namun, pola tanam yang bertentangan dengan kaidah ekologi yang menyebabkan kerusakan lahan di Dataran Tinggi Dieng, bahkan kawasan tersebut menjadi penyumbang besar bagi sedimentasi di waduk Mrica, Banjarnegara. 
Tabel 1: Perubahan Pola Tanam di Dataran Tinggi Dieng
No Tahun Keterangan
1 1960 keadaan sosial ekonomi kacau
2 1970 kentang diperkenalkan
3 1980 budidaya kentang
4 1985-1995 (untung besar) + booming 1 ha = Rp. 6.000.000,-
5 1996 6.188 ha = 135.637 ton
6 2001 3.440 ha = 61.228 ton (menurun)
Sumber: Tambunan, 2010
Komoditas sayur-sayuran adalah komoditas utama di Kawasan Dataran Tinggi Dieng. Dalam satu tahun, atau tiga kali musim tanam lebih banyak didominasi dengan tanaman kentang. Tanaman kentang mendominasi jenis tanaman lain, karena tanaman lain tidak memberikan keuntungan jangka pendek. Petani lebih banyak menggunakan jenis tanaman ini sebagai produk unggulan. Walaupun jenis produk pangan ini tergolong rentan menghadapi ancaman perubahan iklim. 
Beberapa fakta dan teori yang telah dikemukanan memperjelas bahwa Dataran Tinggi Dieng menghadapi ancaman serius kaitanya dengan perubahan iklim. Permasalahan ini akan dihadapi warga dieng hingga beberapa dekade mendatang. Munir (2012) menyebutkan beberapa lokasi di wilayah dataran tinggi Dieng dan sekitarnya, diproyeksikan akan menghadapi kekurangan penyediaan air (water supply), jika mengacu pada kebutuhan air perkapita berstandar dunia, utamanya pada musim kemarau. Sehingga jelas, bahwa kawasan dataran tinggi dieng akan semakin meningkat kerentanan fisik wilayahnya terhadap air.
Paper ini dimaksudkan untuk menelaah keberlanjutan sumber pangan lokal dan ketahanan pangan terhadap perubahan iklim. Makalah ini bermaksud menjawab pertanyaan masalah berikut:
a. Bagaimana dampak perubahan iklim pada ketahanan pangan nasional dan lokal, khususnya di Kawasan Dataran Tinggi Dieng (Dieng Highland)?
b. Bagaimana kondisi produk pangan lokal saat ini dan potensinya pada ketahanan pangan nasional?
c. Bagaimana upaya mitigasi dan adaptasi keterkaitan perubahan iklim di bidang pertanian dan Potensi Kearifan Lokal Masyarakat di Kawasan Dataran Tinggi Dieng pada peningkatan produk pangan lokal?  
2. Pembahasan
Ketahanan pangan (food security) adalah kemampuan suatu negara/wilayah/daerah menyediakan sumber pangan bagi penduduknya. Ketahanan pangan nasional bersumber dari produk pangan domestik (nasional), yang tidak lain adalah jenis-jenis sumber pangan lokal, atau pangan yang dibudidayakan di dalam negeri. Pangan lokal adalah jenis pangan yang bersumber bahan-bahan lokal (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2011). Pangan lokal dalam konsep ketahanan pangan adalah sumber makanan pendukung, yang dapat diandalkan untuk mengganti sumber pangan primer. Poduk pangan lokal yang meningkat dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional.
Keberlanjutan pangan erat kaitanya dengan keberlanjutan bidang pertanian dan lahan. Ketahanan pangan (food security) adalah gejala global, sejalan dengan ketergantungan produk pangan nasional pada produk pangan dunia. Keberlanjutan pangan dan pangan lokal adalah tantangan bagi pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Sumber bahan pangan lokal dan diferensiasi produk dari sumber pangan local tidak cukup berkembang. Produk pangan lokal hanya berkembang sejalan dengan keinginan untuk mempertahankan tradisi. 
Tabel 2: Konsep Swasembada Pangan dan Ketahanan Pangan
Indikator Swasembada Pangan Ketahanan Pangan
Lingkup Nasional Rumah tangga dan individu
Sasaran Komoditas pangan Manusia
Strategi Substitusi Impor Peningkatan ketersediaan pangan, akses pangan, dan penyerapan pangan.
Ouput Peningkatan produksi pangan status gizi (Penurunan kelaparan dan gizi buruk)
Outcome Kecukupan pangan oleh produk domestik manusia sehat dan produktif (angka harapan hidup)
Sumber: (Hanani, 2009; Cahyanto at al., 2012)

Kedua konsep itu mengandung konsekuansi yang berbeda dalam kaitanya dengan perubahan iklim. Konsep swasembada pangan lebih mengingkan produk pangan nasional meningkat, dengan menerapkan strategi pada peningatan produksi pangan itu sendiri sebagai pengganti produk impor. Maka, swasembada pangan menjadi kunci bagi keberhasilan ketahanan pangan nasional. Akan tetapi, ketahanan pangan lebih banyak fokus pada upaya pemenuhan kebutuhan, dengan mengandalkan strategi meningkatkan pendapatan. Tentu konsep ini mengandung konsekuensi yang lebih besar, manakala ketahanan pangan juga sedang menjadi fokus dan masalah dunia.
Peningkatan ketersediaan pangan sebagai sasaran dalam kebijakan ketahanan pangan nasional tentu berdampak pada kemampuan untuk meningkatkan produk pangan domestik. Produk pangan lokal hasil budidaya dan kearifan lokal sangat diperlukan dalam kaitanya denga ketahanan pangan nasional, bahkan kaitanya dengan swasembada pangan. 
Konsep swasembada mengandung konsekuensi logis pada bidang pertanian di Indonesia, sedang ketahanan pangan mengandung konsekuensi pada bidang pertanian dan bidang lainnya. Akan tetapi keduanya mengharuskan semuanya melakukan adaptasi terhadap perubahan yang terjadi. Tujuannya untuk menciptakan kondisi ketahanan pangan nasional yang tangguh.
2.1. Ketahanan Pangan dan Mitigasi di Bidang Pertanian
Ketahanan pangan dan bidang pertanian memiliki tingkat pengaruh yang tinggi. Perluasan usaha pertanian, perkebunan dan pertumbuhan bangunan dengan mengkonversi lahan pertanian, menjadi tutupan lain adalah konsekuensi nyata. Padahal  konsep perluasan lahan untuk budidaya pertanian dalam konteks ekologi sebenarnya tidak selalu menguntungkan. Jenis tanaman tertentu justru menjadi masalah baru bagi perubahan iklim. Dalam hal ini, perubahan iklim dapat disebabkan oleh bidang pertanian, sehingga diperlukan upaya mitigasi (penurunan emisi). Namun, pada sisi yang lain kegiatan pertanian dapat dipengaruhi oleh perubahan iklim, sehingga perlu upaya mitigasi (menyesuaikan dengan dampak yang akan terjadi). Kondisi ini dinilai menjadi paling rentan dibanding sektor lain. Pertanian menjadi sangat rentan, karena faktor-faktor tersebut mendominasi hasil pertanian, pada ahirnya menjadi ukuran ketahanan pangan nasional.
Secara ekologis, sumber pangan masyarakat lebih didominasi sumber pangan nabati (hayati). Tanaman holtikultura adalah jenis tanaman yang sesuai untuk di tanam di Daerah Dataran tinggi (DTD). Jenis tanaman ini banyak dikembangkan di daerah studi. Jenis tanaman ini dikembangkan dalam skala besar, bahkan untuk tujuan pemenuhan kebutuhan pangan nasional, dengan daerah tujuan pengembangan pangan adalah kota-kota besar di Indonesia. 
Namun demikian, jenis tanaman ini juga rentan pada kondisi perubahan iklim. Sementara itu, ketahanan pangan bergantung pada kemampuan bidang pertanian serta kemampuan sektor ini dalam memitigasi dan menghadapi perubahan iklim. Ketahanan pangan nasional yang bersumber dari ketahanan pangan lokal (domestik) jelas sangat diperlukan untuk mengurangi neraca impor perdagangan pangan di Indonesia. Namun demikian, ancaman ketahanan pangan lokal juga sangat besar, bergantung pada kondisi pertanian yang ada. 
Di samping itu, produk pertanian juga menjadi penghasil limbah dan emisi gas rumah kaca (green house gases) ke atmosfer. Beberapa jenis tanaman menjadi penyumbang gas metana, juga pola pertanian yang banyak menggunakan pupuk anorganik, biasanya menjadi penyumbang metana dalam jumlah besar. Dalam kaitanya dengan hal ini, ada siklus dari produk alam yang tidak menguntungkan bagi bidang pertanian. Kondisi tersebut tergambar pada Gambar 1 berikut:
 
Gambar 1. Hubungan Ekosistem dan Pembangunan (Haeruman, 2015)
Sumber alam berupa lahan dan kekayaan ekosistem (tanaman endemik) adalah sumber kekayaan utama bagi pengembangan bidang pertanian di kawasan Dataran Tinggi Dieng (DTD). Namun ekspansi pembangunan di bidang pertanian tidak diikuti dengan kelangsungan ekosistem di bidang lingkungan. Tambunan (2010) menjelaskan bahwa kerusakan kawasan Dataran Tinggi Dieng (Dieng Highland) adalah keserakahan penduduk dalam memanfaatkan lahan produktif. Hal ini terjadi di kawasan Dataran Tinggi Dieng, di mana limbah produk pertanian mengganggu sektor energi. Limbah pertanian dan sedimentasi di Kawasan Dataran Tinggi Dieng menjadi penyebab kerusakan ekosistem waduk di Mrica, Banjarnegara dan hilir lainnya yang menjadi penghasil listrik tenaga air. Kerusakan ekosistem pada ahirnya menurunkan kualitas lingkungan dan pada ahirnya berdampak pada produksi pertanian.
2.2. Kerusakan Ekosistem Dataran Tinggi Dieng 
Masalah lahan pertanian akibat konversi menjadi masalah serius. Pertumbuhan penduduk di perdesaan akan hanya menambah jumlah petani gurem atau petani yang tidak memiliki lahan sendiri atau dengan lahan yang sangat kecil yang tidak mungkin menghasilkan produksi yang optimal, akan semakin banyak. Lahan pertanian yang semakin terbatas juga akan menaikan harga jual atau sewa lahan, sehingga hanya sedikit petani yang mampu membeli atau menyewanya, dan akibatnya, kepincangan dalam distribusi lahan tambah besar.
Kebutuhan lahan pertanian di Dataran Tinggi Dieng juga meningkat pada dasarnya memaksa penduduk membuka lahan yang baru. Pembukaan lahan yang baru menjadi penyebab dari kerusakan ekosistem, utamanya ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS). Namun demikian, penyebab kerusakan fungsi ekosistem di Dataran Tinggi Dieng selain pembukaan lahan adalah pembangunan infrastruktur, perluasan usaha, dan eksploitasi sumber daya alam.  Kusratmoko et al. (2013) pertumbuhan pemukiman tampak sangat besar di wilayah Dataran Tinggi Dieng. Gambar 2. Dataran Tinggi Dieng (DTD) mengalami kenaikan lahan pertanian dalam jumlah besar.
   
 

Gambar 2. Dinamika Penggunaan Tanah di Kawasan Dataran Tinggi Dieng
(Sumber: Koesratmoko, 2014)

Kondisi yang menarik dijumpai pada kawasan ini adalah jenis perkebunan lain dapat tumbuh dengan baik di wilayah ini. Gambar 2 menunjukkan tahun 2011 jumlah hutan di kawasan tersebut mengalami peningkatan (Koesratmoko, 2012). Namun fakta lainnya, hasil pertanian juga mengalami penurunan. Produktivitas tanaman kentang juga menurun dalam kurun waktu lima tahun terahir. Jenis tanaman lain juga mengalami penurunan produktivas, jadi kualitas lingkungan yang kurang baik juga menurunkan produktivitas pertanian. Kenampakan Citra juga menunjukkan pemukiman dan lahan pertanian sudah mencapai wilayah dengan kelerengan tinggi (curam) Gambar berikut:

 
Gambar 3. Kenampakan Rona Muka Bumi dari Citra Ikonos 
(Sumber: Google Earth, 2013)

Pertanian di kawasan Dataran Tinggi Dieng mengalami penurunan yang pesat. Sehingga semakin banyak lahan kritis dan berkurang suplai air irigasi. Hal ini disebabkan kerusakan fungsi daerah tangkapan air, untuk memberikan suplai air yang seimbang, baik pada musim kemarau maupun hujan. 
2.3. Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan
Dalam hubungannya dengan perubahan iklim, masalah utamanya adalah pengaruh perubahan iklim pada pertanian, pada ahirnya pada ketahanan pangan. Perubahan iklim meningkatkan presipitasi, evaporasi, surface water, run-off dan kelembaban tanah. World Food Programe (2009) menyebutkan dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan, dilakukan perlu dilakukan serangkaian upaya berikut:
1. Menyebarkan informasi prakiraan cuaca dan kalender pertanian.
2. Melakukan penanaman varietas yang memerlukan air lebih sedikit.
3. Menanam palawija hemat air
4. Menanam varietas yang sesuai dengan kondisi suatu daerah.
Ketahanan pangan dan perubahan iklim secara tidak langsung membawa dampak pada produk pangan lokal. Produk pangan lokal yang telah bergeser menjadi produk pangan nasional, ternyata telah banyak dikembangkan dalam produk besar-besaran.  Dalam konteks lokal, petani lebih banyak mengandalkan informasi cuaca dari prakiraan lokal (misalnya pranata mangsa).   
Kondisi ini diperlukan untuk mempertahankan dan mengembangkan suatu kawasan sebagai lahan pertanian utama. Dalam kasus pertanian di kawasan Dataran Tinggi Dieng, lahan pertanian mengalami eksploitasi dalam jumlah besar. Penduduk memanfaatkan air dari danau dan waduk untuk mengembangkan lahan pertanian, untuk budidaya kentang. 
 
Gambar 3. Grafik Curah Hujan di Kejajar, Kabupaten Wonosobo (Kawasan Dataran Tinggi Dieng) (Sumber: Koesratmoko, 2013)
Gambar 3 menunjukkan Juni, Juli, Agustus paling memungkinkan terjadi penurunan jumlah curah hujan. Gejala ini jika tidak mengalami perubahan akan dapat diminimalisir. Di Dataran Tinggi Dieng petani memanfaatkan air sungai dengan menggunanakan selang dan mesin pompa (Munir, 2010). Tanaman kentang menghadapi ancaman pada waktu-waktu tersebut, sehingga petani sudah mulai mengganti dengan jenis tanaman lain seperti tembakau dan sayuran jenis lainnya.  
2.4. Upaya mitigasi dan adaptasi di Kawasan Dataran Tinggi Dieng
Dieng sebagai salah satu kawasan strategis, pengembangan produk pangan nasional, utamanya jenis sayuran telah memperlihatkan kemunduran dalam capaian produk pertanian. Kondisi ini tercermin dari Rencana Tata Ruang Nasional (RTRW) Nasional tahun 2025, yang menetapkan kawasan Dieng sebagai sumber pangan dan pertanian (Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang RTRW Nasional). 
Pengembangan kawasan Dieng menjadi akaomodatif pada produk pangan lokal. Mempelajari pengelolaan adaptif, memperkuat keterkaitan dari ekosistem yang kecil yang dikelola oleh masyarakat lokal (Haeruman, 2015) adalah kunci dari pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan.
Mitigasi adalah pengurangan atau pembatasan dari dampak kerugian akibat bencana  dan berhubungan dengan bencana (UN-ISDR, 2009). Mitigasi pada dasarnya adalah upaya mengurangi dampak perubahan iklim. Pada dasarnya, Jenis adaptasi penduduk terhadap perubahan kondisi sosial ekonomi dintaranya dengan melakukan perubahan pada pola tanam. 
 
Gambar 6. Kondisi Lahan Pertanian yang Tidak Sesuai dengan Kaidah Lingkungan di Dataran Tinggi Dieng (Setiawan, 2012).
Adaptasi adalah suatu strategi penyesuaian diri yang digunakan untuk merespons perubahanperubahan lingkungan yang terjadi (Nugroho, 2011). Petani melakukan berbagai kegiatan adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan. Namun kemampuan petani menyesuaika diri dengan lingkungan jauh lebih kecil dari perubahan lingkungan yang terjadi. 
Adaptasi adalah suatu strategi penyesuaian diri yang digunakan untuk merespons perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi. Petani melakukan berbagai kegiatan adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan, salah satunya kelangkaan air, yang kejadiannya makin sering selama musim kemarau. Namun kemampuan petani menyesuaikan diri dengan lingkungan jauh lebih kecil dari perubahan lingkungan yang terjadi. Sehingga, kelangkaan air kadang menyebabkan kegagalan pada usaha pertanian yang dilakukan.
Penurunan produksi terjadi seiring dengan penurunan produktivitas tanah. Produktivitas erat kaitanya dengan pola pengolahan lahan, baik secara alami maupun buatan. Dataran tinggi dieng menghadapi masalah pada pokok masalah produktivitas dan pola pengelolaan lahan yang tidak tepat. Dampaknya produksi pangan petani menurun sejalan dengan penurunan jumlah produk. Kondisi ini mengurangi kemampuan petani memproduksi pangan. Gambar 6 memperlihatkan pola pengairan di kawasan dataran tinggi dieng dan pengangkutan hasil panen tanaman kentang.
   
(a) (b)
Gambar 6. (a) Petani Menggunakan Mesim Pompa Air untuk Mengairi Lahan Pertanian. (b) Hasil Produk Pertanian Berupa Sayur Kentang Diangkut ke Luar Kota (Sumber: Koesratmoko, 2012)

Jenis tanaman kentang, sebagai jenis holtikultura unggulan, pada dasarnya jenis tanaman yang mudah mengalami gangguan akibat suhu. Disamping masalah produktivitas tanah dan tanaman yang menurun. Bidang pertanian adalah sektor yang harus menghadapi perubahan iklim lebih dini. Petani dapat membeli air hingga Rp. 200.000 per malam untuk mengairisi pertanian kentang (Munir, 2010). Kelangkaan sumber air menjadi masalah utama pertanian di kawasan Dataran Tinggi Dieng, utamanya ketika musim kemarau terjadi. 
2.5. Potensi Kearifan Lokal dalam Meningkatkan Produk Pangan Lokal
Jika konsumsi pada sumber pangan impor terus meningkat salah satu alternatif penyelesaiannya dengan meningkatkan kearifan lokal dalam bidang pangan. Beberapa jenis pangan alternatif, dari sumber pangan lokal ternyata sesuai dengan kaidah ekologis alam Indonesia, seperti: Sukun, Aci Sagu, Talas dan lainnya. Thayib (2014) menyampaikan pandangan bahwa budidaya pertanian besar-besaran yang selama ini diunggulkan, secara ekologis tidak sesuai dengan tipologi lingkungan unik Indonesia, seharunya dikembangkan teknologi dengan memasukkan kearifan lingkungan yang sudah terpateri di masyarakat Indonesia. Pertanian monokultur yang secara sistematis telah menghancurkan kekayaan alam Indonesia. Kekayaan Alam Indonesia perlu tetap dipertahankan, dengen mengembangkan pola pertanian yang sesuai dengan kondisi lokasi setiap di daerah (Soekiman et al., 2007; Cahyono et al., 2012). Kearifan lokal berperan dalam mengatasi kerawanan pangan. 
Potensi sumber pangan dari kearifan lokal tersebut, jika dapat dikembangkan secara merata pada dasarnya mampu memenuhi kebutuhan pangan Indonesia. Dengan menggali dan mengembangkan kearifan lokal, kemiskinan tidak hanya dapat dikurangi Tetapi juga dihindari karena lestarinya sumber daya bagi generasi berikutnya (Sorjani, 2005; Cahyanto et al., 2012)  Sukun telah lama dimanfaatkan sebagai sumber pangan di Indonesia. Di Daerah Fiji, Tahiti, Hawai, samo dan Kepulauan Sangir Talaud buah sukun dimanfaatkan sebagai sumber makanan tradisonal dan makanan ringan (Cahyanto et al., 2012). Jadi kearifan lokal secara umum mendatangkan manfaat pada peningkatan ketahanan pangan masyarakat.
Diversifikasi pangan adalah penganekaragaman pangan atau diversifikasi pangan adalah upaya peningkatan konsumsi anekaragam pangan dengan prinsip gizi seimbang (BAPPENAS, 2011). Pangan lokal menjadi jenis pangan yang mudah dikelola dan dikembangkan, dengan diversifikasi yang diperlukan. Jadi pangan lokal tidak diperlukan dalam upaya mengembangkan pangan nasional.  
Banyak jenis pangan lokal yang dapat dikembangkan oleh masyarakat Dataran Tinggi Dieng. Jenis pangan tersebut diantaranya adalah palawija, jenis makanan olahan kentang, dan tanaman lokal lainnya seperti carica dan jenis olahan minum seperti purwoceng. Semua bahan pangan dikembangkan dan dibudidayakan dari produk lokal. Jenis tanaman-tanaman tersebut dapat degan mudah dijumpai di kawasan dataran tinggi dieng. Semakin banyak jenis tanaman yang dikembangkan untuk meningkatkan produk pangan lokal, maka akan semakin meningkat ketahanan pangan nasional.
Kearifan lokal masyarakat kawasan Dataran Tinggi Dieng dalam mengusahakan jenis makanan dari potensi lokal dan endemik perlu dikembangkan. Jenis carica telah mendominasi jajanan khas dan oleh-oleh pangan dari Wonosobo. Jenis panganan lokal ini juga telah membudaya sebagai makanan tambahan di masyarakat. Jadi produk pangan lokal hasil kearifan lokal telah dikembangkan menjadi jenis makanan baru yang diusahakan oleh masyarakat lokal. Jenis produk pangan yang beragam ini, berpotensi dikembangkan dalam skala yang lebih besar, sehingga meningkatkan produk pangan lokal, selanjutnya meningkatkan ketahanan pangan nasional. 
3. Kesimpulan
Ketahanan pangan dan perubahan iklim secara tidak langsung membawa dampak pada produk pangan lokal. Dampak perubahan iklim pada ketahanan pangan nasional dan lokal, khususnya di Kawasan Dataran Tinggi Dieng (Dieng Highland) sangat terasa pada komoditas utamanya yaitu tanaman kentang. 
Pangan lokal menjadi jenis pangan yang mudah dikelola dan dikembangkan. Kearifan lokal masyarakat kawasan Dataran Tinggi Dieng banyak mengusahakan jenis makanan dari potensi lokal dan endemik. Maka, jenis produk yang pangan yang beragam ini berpotensi dikembangkan dalam skala yang lebih besar, sehingga meningkatkan produk pangan lokal, selanjutnya meningkatkan ketahanan pangan nasional. 
Kearifan lokal masyarakat kawasan Dataran Tinggi Dieng dalam mengusahakan jenis makanan dari potensi lokal dan endemik perlu dikembangkan. Kemampuan petani melakukan mitigasi dan menyesuaika diri dengan lingkungan jauh lebih kecil dari perubahan lingkungan yang terjadi. Sehingga dampak perubahan iklim sangat terasa pada bidang pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). (2011). Rencana Aksi Pangan Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
Cahyanto, S. S., Bonafius, S. P., A. Muktaman (2012). Penguatan Kearifan Lokal sebagai Solusi Permasalahan Ketahanan Pangan Nasional. dipaparkan pada Prosiding The 4th Internasional Conference on Indonesia Studies: "Unity, Diversity and Future". Malang, Indonesia.
Dewan Nasional Perubahan Iklim. (2010). Kumpulan Peta Kerentanan Pangan Indonesia.
Kusratmoko, E., Setiawan, A., Munir, A., Soewarno. (2012, May). Availability of Water Resources in Two small Watersheds in the Dieng Highland of the Central Java, Indonesia. Paper presented at the meeting of International symposium on Mountain Resources Management in a Changing Environment, Kathmandu, Nepal.
Munir, Ahmad. (2010, Desember 7). Wawancara Pribadi.
Rahardjo, D. M. (1997). Pembangunan Ekonomi Nasional: Suatu Pendekatan Pemerataan, Keadilan dan Ekonomi Kerakyatan. Jakarta: PT Intermessa Anggota IKAPI.
Tambunan, Rudy P. (2010). Implikasi Perubahan Penggunaan Tanah Terhadap Prospek Pengelolaan Pariwisata Kawasan Dieng, paparan di Persiapan Kuliah Kerja Lapang II di Kabupaten Wonosobo, Depok, Indonesia.
Thayib, M. H. (2014). Budidaya Pertanian Berwawasan Lingkungan Nusantara Khatulistiwa: Mengembalikan Kemandirian, Ketahanan dan Kedaulatan Pangan Indonesia. Jurnal Lingkungan Indonesia, Vol 2. No.3, 148-159.
World Bank. (2005). Indonesia Brief Policy – Ide-ide 100 Program Hari. Jakarta:The Word Bank.   
World Food Programe. (2009). Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia - A Food Security and Vulnerability Atlas of Indonesia 2009. Jakarta: Dewan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian RI and WFP.
United Nation International Strategy for Disaster Reduction.  (2009). Mitigation. In UNISDR Terminology on Disaster Risk Reduction (Vol. 1, pp 19). Geneva: United Nation International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR). 

Posting Komentar

0 Komentar