KEBERLANJUTAN KAWASAN LINDUNG SEMPADAN SUNGAI MENURUT RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW)



(Studi di Hilir Sempadan Ciliwung, DKI Jakarta)
Oleh: Ahmad Munir, 1306501210
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Dataran Jakarta adalah dataran aluvial (dataran endapan) yang terbentuk pada masa Pleistosen akibat gunung berapi yang mengalami letusan dan menyemburkan batu-batuan, yang terkumpul di kaki gunung dan terkikis oleh curah hujan dan diendapkan di laut, secara berangsur-angsur membentuk daratan baru. Bemmelen (1949) menyebutkan dataran Jakarta (Batavia) adalah endapan kira-kira selebar 40 kmdari Serang dan Rangkasbitung di Banten hingga ke Cirebon. Dataran Jakarta tersusun atas endapan aluvial sungai dan lahar (mud flows) dari gunung api (volcano) di wilayah hulunya. Di bagian selatan berupa sabuk perbukitan dan gunung, yang terbentang dari Djasinga di Banten sampai dengan Bumiayu di Jawa Tengah.Sabuk ini boleh disebut zona Bogor (Bogor zone).
Dataran ini melebar menggeser garis pantai rata-rata 6 – 9 meter per tahun dalam 300 tahun terahir. Bertambah lebarnya dataran aluvial ini menyebabkan dataran menjadi lebih landai (__, 2002).Verstappen (1953) menyebutkan kipas aluvial melebar beberapa kilometer. Pada sisi yang lain, terjadi pendangkalan pantai secara perlahan karena sedimen yang dibawa oleh sungai dan membentuk dataran luas pada beberapa pulau kecil di sekitar di atas permukaan laut. Kondisi dataran rendah ini secara alami selalu terkena banjir, dikarenakan pemotongan alur sungai ke dataran seperti Sungai Cisadane, Angke, Ciliwung, Bekasi, dan Citarum.
Pada dataran aluvial Jakarta mengalir tiga belas sungai besar dan kecil, yang mempunyai mata air di Gunung Gede-Pangrango dan Gunung Salak, yang semuanya bermuara di teluk Jakarta (__, 2002). Karakteristik tiga belas sungai yang mengalir di DKI Jakarta adalah sungai dengan bentuk landai, berhulu di pegunungan bagian selatan Jakarta.Endapan dari gunung-gunung di bagian selatan hingga sekarang masih dibawa oleh sungai-sungai yang mengalir ke teluk Jakarta.Sungai-sungai ini membawa bahan erosi, yang sebagian diendapkan di perairan pantai, namun pada saat musim hujan sungai-sungai ini akan meluap, dan sebagian dari sedimennya mengendap di sepanjang tepi-tepi sungai dan membentuk tanggul-tanggul alamiah. Morfologi (wujud permukaan) lembah Jakarta yang sangat landai dan tersebar banyak tanggul alamiah membuat air hujan setempat tidak cepat dapat mengalir ke muara-muara (___, 2002).Daerah sangat datar ini membentuk enclave (returding area), berupa penampung air dalam ukuran besar pada musim hujan.
Ci Liwung adalah bentukan hasil pengendapan fluvial akibat proses vulkanik, yang menyebabkan wilayah Jakarta mengalami pengendapan, yang memiliki hulu di bagian selatan dan bermuara di laut Jawa. Wibowo et al. (2009) menjelaskan bagian tengah Ci Liwung terletak di Kota Depok, bagian hulunya di Kabupaten Bogor dan Kota Bogor, sedangkan wilayah DKI Jakarta adalah wilayah potensi genangan.Iriyanto et al. (2009) menyebutkan bahwa pada saat terjadi debit tinggi, Ci Liwung akan meluap yang menyebabkan banjir pada dataran aluvial di sekitar sungai.
Secara keseluruhan sempadan Ci Liwung mengalami perubahan penggunaan lahan.Santri (2008) menjelaskan sempadan Ci Liwung baik bagian tengah (Bogor- Depok) maupun di Hulu (Puncak) telah terjadi perubahan penggunaan lahan bertanaman (permeable) menuju ke lahan impermeable.Perubahan penggunaan lahan juga terjadidi bagian hilir (Jakarta), tidak hanya areal yang jauh dari sungai, tetapi hingga di bibir sungai, akibatnya daya tampung sungai ikut mengecil.Wibowo et al. (2009) menjelaskan  saatdebit puncak, tinggi muka air Ci Liwung dapat mencapai 5-7 meter. Kondisi ini menyebabkan terjadinya banjir ke permukiman penduduk di sekitar bantaran sempadan sungai. Pada saat peristiwa banjir (naiknya tinggi muka air sungai mencapai 6-7 meter), menyebabkan bangunan atau rumah yang ada di sekitar sempadan (pada jarak 5-15 meter) akan terkena dampak banjir. Dampak dari perubahan penggunaan lahan adalah peningkatan koefisien laju debit aliran permukaan (run-off) di Ci Liwung.
Kerusakan bantaran Ciliwung dapat terlihat dari kondisi alamiah bantaran sungainya. Berdasarkan struktur vegetasinya sebagian besar terganggu di wilayah hilir dan tengah, serta tidak alami di bagian hilir, juga menurut intensitas penggunaan tanahnya sebagaian tidak alami di bagian hilir (Santri, 2007). Analisa dampak bantaran sungai yang dilakukan pada tahun 2011 menunjukkan bahwa kondisi Ci Liwung saat ini adalah mudah terjadi longsor, terjadi gerusan bantaran, sedimentasi dari material longsor, pendangkalan sungai, berkurangnya luasan bantaran banjir, dan banjir (Prihatin, 2011). Terjadi kerusakan lingkungan di bantaran Ci Liwung, baik secara ekologi maupun secara morfologi. Kerusakan lingkungan pada bantaran Ciliwung menunjukkan intervensi manusia tergolong tinggi. 
Curah hujan menjadi faktor kunci penentu kejadian banjir di DKI Jakarta, walaupun nilai curah hujan cenderung stabil jumlanya dari tahun ke tahun.Sandy (1987) menyebutkan wilayah pesisir utara Jawa Barat, termasuk wilayah DKI Jakarta, terutama wilayah di bawah ketinggian 50 meter, hujan maksimum jatuh pada Januari dan minimum pada Juli-Agustus. Jumlah hujan biasanya kurang dari 2000 mm/ tahun.Pada musim kemarau, pengisian (discharge) sungai-sungai ini lambat dan saluran perkotaan menunjukkan kepadatan, kumuh dan kondisi yang sangat buruk.Akan tetapi, selama musim hujan ketika sungai membawa sedimen dalam jumlah besar, seiring berjalannya waktu jumlahnya meningkat, akibat pembangunan oleh manusia di bagian hulu, risiko banjir menjadi tinggi dan dampak yang luas.
Aspek curah hujan menjadi bagian penting pada kejadian banjir di Jakarta.Perspektif temporal data curah hujandi wilayah Jakarta dan sekitarnya juga cenderung stabil.Curah hujan di wilayah Jakarta memiliki karakteristik intensitas tinggi dan berdurasi pendek. Konsentrasi curah hujan  pada siang hari dan malam hari, 60% - 80% dari hujan terjadi antara pukul 14.00 – 21.00 WIB (Nedeco, 1973; Hartman et al., 2009).  Jumlah curah hujan yang jatuh di wilayah Jakarta dalam tiap tahun hampir sama. Rata-rata curah hujan bulanan di wilayah DKI Jakarta sebesar 330 mm/bulan.
Indiyanto (2012) menjelaskan bahwa konteks permasalahan banjir yang juga berkembang dan terkait dengan pemanfaatan ruang dan lahan adalah tingginya jumlah pemukiman kumuh di wilayah perkotaan yang mengakibatkan jumlah kelompok rentan menjadi bertambah.Penataan ruang sesuai dengan peranannya adalah sebagai alat kendali dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang. Pada perkembangannya, pemanfaatan ruang di Jakarta mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Jakarta sedang tumbuh dengan tekanan lingkungan yang tinggi, khususnya dikarenakan pembangunan kota yang tidak berkelanjutan (Tanuwidjaja et al., 2010). Tambunan (2010) menjelaskan antara tahun 1970-1990, perkembangan fisik Jakarta terwujud dalam bentuk scatter (melompat) dan tidak didukung oleh prasarana kota. Banyak penduduk yang memanfaatkan lahan pada kawasan yang tergolong rentan dalam bentuk lahan seperti: rawa dan tapal kuda (oxbow lake).
1.2. Isu Penelitian
Aspek keruangan (spatial) juga menjadi masalah penting pada kejadian banjir. Banjir di Jakarta masih menjadi permasalahan ruang (space) perkotaan yang telah berlangsung lama (sekitar tahun 1699) dan menjadi masalah kejadian banjir terahir  (tahun 2014). Fakta menunjukkan banjir di Jakarta memiliki kecenderungan semakin meningkat luasan dan intensitas kejadiannya.Suprapto (2011) menjelaskan pola (trend) banjir cenderung bersifat linier artinya semakin lama jumlah kejadian banjir semakin bertambah. Hardjosoewirdjo (2008) menjelaskan pada masa pemerintahan Belanda, Jakarta mengalamifrekuensi datangnya banjir pada kisaran 20 tahunan, berikutnya menjadi 10 tahunan, dan kini menjadi 5 tahunan.Sagalaet al. (2011) menyebutkan luas genangan (inundation area) banjir Tahun 2002 sekitar 320 km2, tahun 2007 menjadi sekitar 400 km2, dan tahun 2012 menjadi >400 km2.
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) DKI Jakarta dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2030 juga menetapkan kawasan hijau sebagai kawasan lindung untuk menanggulangi masalah banjir. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta (2010) mentargetkan komponen Ruang Terbuka Hijau sebesar 30% dari total luasan yang tersedia. 
Paper ini bermaksud menelaah keberlanjutan lingkungan sempadan sungai di Jakarta. Pendekatan dalam penulisan ini adalah deskriptif kualitatif. Pokok masalah yang diajukan adalah 
1. Bagaimana konsep kawssan lindung di kembangkan sempadan sungai Ciliwung dalam konteks Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau? 
2. Bagaimana indikator keberlanjutan lingkungan di Sempadan Ciliwung menurut kriteria Rencanan Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2030?

2. Gambaran Umum Wilayah
2.1. Rencana Tata Ruang Wilayah
Ruang (space) diartikan sebagai keseluruhan ruang muka bumi, baik darat, laut dan udara yang memiliki dimensi ruang. Penataan (planing) adalah konsep perencanaan. Dalam konteks perkotaan, perencanaan yang berkaitan dengan risiko bencana banjir diantaranya perencanaan fisik dan rancangan perkotaan, perencanaan tata guna lahan (tanah), perencanaan real estate, prasarana umum dan perencanaan lingkungan.
Berdasarkan pada RTRW DKI Jakarta 2030, kawasan yang diperuntukkan untuk kawasan lindung, berupa ruang terbuka hijau (RTH) di Daerah Penelitian terkonsentrasi di bantaran sungai. RTH tepi bantaran sungai adalah amanat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006. Keunggulannya rencana tata ruang terletak pada substansi dan kemampuannya mengendalikan pemanfaatan ruang dibandingkan dengan instrument lain.
 
Gambar 1. Peta Rencana Struktur Ruang Provinsi DKI Jakarta 
(Sumber: Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030)

Sebagaimana termuat dalam rencana umum Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta, wilayah DKI Jakarta diperuntukkan untuk kawasan industri, jasa dan perdagangan, maka peruntukan lahan untuk kawasan budidaya juga diperbesar dan ditingkatkan. Secara lebih rinci, hilir Sungai Ciliwung Bagian Tengah, Segmen Kelurahan Manggarai – Kebonbaru diperuntukan untuk fungsi lindung (warna hijau).

 
Gambar 1. Ilustrasi Target Ruang Terbuka Hijau hingga 2030 dalam RTRW DKI Jakarta 2030 (Sumber: RTRW DKI Jakarta, 2010)
2.2. Lokus Penelitian
Lokus penelitian adalah Hilir Sungai Ciliwung Bagian Tengah, Segmen Kelurahan Manggarai – Kebonbaru. Tempat penelitian di Hilir Sungai Ciliwung ini, secara astronomis terletak antara 6°12'22,331"-6°14'39,48" Lintang Selatan (LS) dan antara 106°51'8,226"-106°52'16,68" Bujur Timur (BT).  Secara administratif, lokasi penelitian berada di Kelurahan Manggarai, Kelurahan Kebon Manggis, Kelurahan Kampung Melayu, Kelurahan Bidara Cina, Kelurahan Kebon Baru, Kelurahan Bukit Duri, Dan Kelurahan Balimester. Kelurahan-kelurahan di Sebelah Barat Sungai Ciliwung masuk dalam Kota Madya Jakarta Selatan, sedangkan di Sebelah Timur Sungai Ciliwung masuk dalam Kota Madya Jakarta Timur.
 
Gambar 3. Daerah Penelitian di Hilir Sungai Ciliwung
(Pengolahan Data Spasial, 2015) 
 
2.3. Kebijakan, Strategi, Program dalam Subjek Penelitian
Kebijakan penataan ruang adalah arahan pengembangan wilayah yang ditetapkan guna mencapai tujuan penataan ruang. Strategi penataan ruang adalah langkah-langkah penataan ruang dan pengelolaan wilayah yang perlu dilakukan untuk mencapai visi dan misi pembangunan provinsi yang telah ditetapkan (Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030).
Tabel 1. Tujuan Kebijakan dan Strategi berdasarkan pada Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030
No Tujuan (Pasal 5 huruf a, h, dan i) Kebijakan Strategi
1 Terwujudnya pemanfaatan kawasan budi daya secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan 12.500.000 (dua belas juta lima ratus ribu) jiwa penduduk yang persebarannya diarahkan sebanyak 9,2% (sembilan koma dua persen) di Kota Administrasi Jakarta Pusat, 18,6% (delapan belas koma enam persen) di Kota Administrasi Jakarta Utara, 24,1% (dua puluh empat koma satu persen) di Kota Administrasi Jakarta Timur, 22,6% (dua puluh dua koma enam persen) di Kota Administrasi Jakarta Selatan, 25,3% (dua puluh lima koma tiga persen) di Kota Administrasi Jakarta Barat, 0,2% (nol koma dua persen) di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu serta meningkatkan produktivitas dan nilai tambah perkotaan; Untuk mewujudkan pemanfaatan kawasan budi daya ditetapkan kebijakan sebagai berikut:
a. pengendalian perkembangan kegiatan budi daya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan; dan
b. pengarahan perkembangan dan penataan kawasan permukiman sesuai karakteristik kawasan. Strategi untuk melaksanakan kebijakan meliputi:
a. meningkatkan sistem drainase yang terintegrasi secara hierarkis;
b. meningkatkan sistem persampahan yang terintegrasi;
c. meningkatkan sistem penyediaan air bersih yang terintegrasi secara hierarkis;
d. mengembangkan prasarana konservasi sumber daya air untuk memelihara keberadaan sumber daya air;
e. meningkatkan sistem penyediaan energi yang terintegrasi; dan
f. meningkatkan sistem jaringan telekomunikasi yang terintegrasi
2 terwujudnya keterpaduan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di bawah permukaan tanah dan di bawah permukaan air dengan mempertimbangkan kondisi kota Jakarta sebagai kota delta (delta city) dan daya dukung sumber daya alam serta daya tampung lingkungan hidup secara berkelanjutan; Untuk mewujudkan keterpaduan pemanfaatan dan pengendalian ruang ditetapkan kebijakan sebagai berikut:
a. pelaksanaan konservasi kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan lindung, sumber daya air, dan pengembangan RTH untuk keseimbangan ekologi kota Jakarta;
b. Pengembangan RTH untuk mencapai 30% (tiga puluh persen) dari luas daratan Provinsi DKI Jakarta terdiri dari RTH Publik dan RTH Privat yang didedikasikan sebagai RTH bersifat publik seluas 20% (dua puluh persen) dan RTH Privat seluas 10% (sepuluh persen) sebagai upaya peningkatan kualitas kehidupan kota;
c. penurunan emisi gas rumah kaca sebagai upaya mengantisipasi pemanasan global dan perubahan iklim; dan
d. penetapan dan pemeliharaan kawasan yang memiliki nilai strategis yang berpengaruh terhadap aspek lingkungan. Strategi untuk melaksanakan kebijakan meliputi:
a. mengelola sempadan sungai untuk menjamin tidak terjadinya kerusakan pada pinggiran sungai dan tidak terganggunya pengaliran air sungai dan beban kawasan sekitar;
b. meningkatkan fungsi perlindungan kawasan setempat dan kawasan perlindungan bawahannya.
Strategi untuk melaksanakan kebijakan meliputi:
a. meningkatkan kuantitas dan kualitas RTH yang tersebar di seluruh wilayah kota/kabupaten serta mempertahankan ketersediaan RTH yang ada;
b. memfungsikan kembali ruang dan kawasan yang berpotensi dan/atau peruntukan sebagai RTH;
c. mengkonversi sebagian lahan parkir halaman gedung pada koridor yang telah dikembangkan sistem angkutan umum massal menjadi RTH;
d. mengkonversi lapangan parkir tanpa penghijauan menjadi taman parkir;
e. mengembangkan dan mengoptimalkan penyediaan RTH melalui penambahan penyediaan lahan di bagian selatan dan kawasan perlindungan setempat;
f. memanfaatkan RTH untuk berbagai fungsi dengan tidak mengurangi fungsi utama;
g. menerapkan inovasi penyediaan RTH budi daya;
h. melibatkan dan meningkatkan peran serta masyarakat dan dunia usaha dalam penyediaan, peningkatan kualitas, dan pemeliharaan RTH privat dan publik;
i. i. mengembangkan RTH dengan ruang terbuka non hijau sebagai satu kesatuan kawasan;
3 Tercapainya penurunan resiko bencana; Untuk mencapai penurunan resiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf h, ditetapkan kebijakan sebagai berikut:
a. pengembangan prasarana dan sarana pengurangan resiko bencana alam;
b. pengembangan prasarana dan sarana pengurangan resiko bencana non alam; dan
b. peningkatan adaptasi dan mitigasi terhadap ancaman pemanasan global dan perubahan iklim serta peningkatan resiko bencana lainnya.
 
3. Teori Pembangunan Berkelanjutan
Keberlanjutan (sustainability) adalah suatu rekayasa sosial kemanusiaan dalam suatu ekosistem (termasuk manusia), yang diatur untuk mendukung kondisi kehidupan saat ini, agar bumi tetap berlanjut atau lestari (Fall, 2009). Keberlanjutan adalah batas waktu untuk menjamin generasi manusia, dalam bentuk pilihan untuk menjembatani kesenjangan antara pembangunan dan lingkungan, serta tindakan langsung untuk terlibat dalam upaya meningkatkan dan menjaga lingkungan secara menyeluruh (Rogers, 2006). Konsep keberlanjutan berkembang menjadi bahan perdebatan antara konsep pembangunan (development) dengan konsep lingkungan (environment). 
Konsep keberlanjutan di lingkungan perkotaan berkaitan dengan sumber daya lahan, yang memiliki karakteristik jenis penggunaan tanah yang bervariasi.Keberlanjutan lahan di lingkungan perkotaan berkaitan dengan pemanfaatan lahan dan peruntukan lahan.
3.1. Konsep
Pembangunan berkelanjutan fokus pada mitigasi dampak perubahan lingkungan, termasuk mengurangi degradasi dari faktor manusia (antropogenic driver) (Friedland, 2014). Pada prinsipnya pembangunan berkelanjutan mengandung muatan keseimbangan antara lingkungan, ekonomi dan sosial.Kerentanan lingkungan diperlukan dalam pembangunan berkelanjutan (Adger, 2006). Soemarwoto (1997) menyebutkan bahwa inti permasalah kerusakan lingkungan hidup adalah hubungan mahluk hidup, khususnya manusia dengan lingkungan hidupnya. 
Pembangunan berkelanjutan membutuhkan perubahan fundamental dari paradigma pembangunan konvensional. Pertama, pembangunan berkelanjutan mengubah perspektif jangka pendek menjadi jangka panjang. Kedua, pembangunan berkelanjutan memperlemah posisi dominan aspek ekonomi dan menempatkannya pada tingkat yang sama dengan pembangunan sosial dan lingkungan (Salim, 1987).  Jika dikaji dari sisi paradigma pembangunan berkelanjutan, maka upaya untuk mengatasi permasalahan banjir perlu dilakukan dengan pendekatan bertahap, berjenjang, dan berkelanjutan. Kondisi akan terlihat pada pola pengendalian masalah banjir yang menyeluruh (holistik) dan terpadu dengan mempertimbangkan spek ekonomi, sosial dan lingkungan secara bersama-sama.
3.2. Terminologi 
Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan stuktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang. Rencana tata ruang wilayah adalah produk kebijakan penataan ruang dalam upaya memanfaatkan, mencegah dan mengendalikan pemanfaatan ruang (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang).
Strategi untuk melaksanakan kebijakan meliputi:1) mengelola sempadan sungai untuk menjamin tidak terjadinya kerusakan pada pinggiran sungai dan tidak terganggunya pengaliran air sungai dan beban kawasan sekitar; 2) meningkatkan fungsi perlindungan kawasan setempat dan kawasan perlindungan bawahannya. Ekosistem adalah suatu kawasan alam yang didalamnya tercakup unsur-unsur hayati (organisme) dan unsur-unsur non-hayati (zat-zat tidak hidup) serta antara unsure-unsur tersebut terjadi hubungan timbal balik (Kartawinata, et al., 1987). 
3.3.   Indikator Keberlanjutan
Indikator keberlanjutan dalam pengelolaan wilayah sempadan sungai adalah tercapainya optimasi peran bantaran sungai sebagai kawasan lindung penyedia jasa lingkungan, sesuai dengan amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007. Tabel 1 menjelaskan indikator keberlanjutan lingkungan sempadan sungai.


Tabel 1. Indikator Keberlanjutan Lingkungan Bantaran Sungai
Indikator Indikator Pembangunan
Lingkungan Kondisi fisik bantaran yang terpenuhi secara fisik sebagai zona perlindungan.
Sosial Terpenuhinya aspek pembangunan dalam MDGs dan SDGs pada masa mendatang
Ekonomi Peningkatan pendapatan warga dari upaya menjaga kelestarian sungai
Sumber: Analisa Penulis, 2015
Instrumen sejenis Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) secara spesifik diperlukan. Instrumen ini memperkecil potensi berubahnya fungsi dan peranan sempadan sungai. Konsekuensinya, zona ini perlu mendapat insentif dan keleluasaan dalam pengelolaan lingkungan. 
3.4.   Ukuran
Konsep ukuran dalam mengukur keberhasilan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta adalah target, capaian dan realisasi. Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, jelas ditargetkan 30% Ukuran keberlanjutan hendaknya disandingkan dengan kualitas lingkungan bantaran, seperti persentase tutupan vegetasi, keanekaragaman jenis, dan fungsi habitat yang optmimal bagi mahluk hidup. 
Faktor pokok lainnya, ukuran RTH perlu diasosiakan dengan genangan banjir. Banjir adalah suatu risiko alam yang penting pada lingkungan daerah aliran sungai (Daungthima, W. dan Hokao K., 2012). Banjir di wilayah sungai umumnya jenis banjir luapan, akibat peningkatan debit sungai yang tidak diimbangi dengan kapasitas badan sungai. Banjir menurut semua definisi yang dijelaskan mengandung syarat dari aspek fisik berupa genangan, dari aspek ekonomi kerugian dan dari aspek sosial berupa kematian/korban jiwa.
Sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan fungsi sungai. Kriteria sempadan sungai adalah 1) sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai, yang berada di luar pemukiman. 2) Untuk sungai di kawasan pemukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10-15 meter (Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung). Jadi ukuran keberhasilan RTRW DKI Jakarta 2030 adalah tercapainya target rencana ruang terbuka hijau sebesar 30% dari total luas wilayah DKI Jakarta.
3.5.   Analisis Dimensi
Analisis dimensi dalam ilmu lingkungan meliputi; analisis dimensi lingkungan, analisis dimensi ekonomi dan analisis dimensi sosial. Pada dimensi lingkungan beberapa dimensi yang dapat diukur adalah bantaran sungai, sempadan sungai dan tutupan vegetasi. Dimensi lingkungan adalah ukuran standar bagi komponen biotik (lingkungan hidup) bantaran sungai. Dimensi yang digunakan adalah kemampuan RTH sebagai kawasan lindung menyerap CO2 dan menghasilkan O2. Dimensi ini dapat dijelaskan melalui mekanisme karbon trading meliputi carbon stock dan penyerapan karbon.
Pendekataan lain adalah kemampuan lingkungan bantaran menanggulangi bencana dan menyediakan jasa lingkungan. efisiensi sangat terlihat dengan pola pembangunan dalam penanggulangan bencana. Dengan pendekatan untung-rugi maka penanggulangan banjir lebih banyak dengan program penanggulangan. Pola penanggulangan dengan pembangunan tanggul, untuk mengalirkan air ke laut adalah jalan alternatif, Penanggulangan ini bersifat jangka pendek dan hasilnya sangat merusakan kondisi fisik lingkungan. Bantaran sungai ditanggul dan sungai dikeruk. Ekosistem dalam sungai dan wilayah bantarannya mati dan tidak tersisa. Efisiensi menjadi masalah dalam penanganan banjir Ciliwung bagi sistem lingkungan (ekologi).
4. Penutup
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dalam bentuk kebijakan, strategi, program pada subjek penelitian dapat dilakuakn melalui ukuran, analisis dimensi sosial dan kebijakan. Konsep kawssan lindung di kembangkan sempadan sungai Ciliwung dalam konteks Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau adalah untuk memenuhi realisasi tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang. Indikator keberlanjutan lingkungan di Sempadan Ciliwung menurut kriteria Rencanan Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2030 adalah bahwa lingkungan sempadan sungai dikembangkan untuk tujuan pengembangan ruang terbuka hijau.

DAFTAR PUSTAKA
……........ (2002). Banjir Kota Jakarta dan Tata Air Jabotabek. Jakarta: …….......
Adger. (2006). Vulnerability. Global Enviroment Change, 16, 268-281.
Bemmelen, R. W. V. (1949). General Geology Indonesia and Arjasen Archipelagoes. Government Printing Office. 
Daungthima, W. dan Hokao, K. (2012). Sustain Assessing the flood impacts and the cultural properties vulnerabilities in Ayutthaya, Thailand. Presented at The 3rd International Conference on Sustainable Future for Human Security - Procedia Environment Science, Ayutthaya, Thailand. 
Hadi et al. (2014). A Metodology to Assess Enviromental Vulnerability in a coastal city: Application to Jakarta, Indonesia. Ocean and Coastal Management, 102, 169-177.
Hardjosoewirjo, S. (2010). Menuju Jakarta 2020. Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia.
Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. (2011). Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta: Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
Kodoatie, R. J. et al. (2006). Pengelolaan Bencana Terpadu. Jakarta: Yasrif Watampone (Anggota IKAPI).
Nazir, M. (2002). Metode Penelitian. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030
Prawiranegara, M. (2014). Spasial Multi-Criteria Analysis (SMCA) for Basin-Wide Flood Risk Assasment As A Tool In Improving Spatial Planning.   
Prihatin, R. B. (2013). Banjir Jakarta Warisan Alam dan Upaya Pengendalian. Yogyakarta. INSIST Press.
Ramli, S. (2010). Pedoman Praktis Manajemen Bencana (Disaster Management). Jakarta: PT. Dian Rakyat.
Salim, E. (1987). Paradigma Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Yayasan Obor.
Santri, S. A. (2007). Karakteristik Sempadan dan Korelasinya dengan Wilayah Rawan Banjir DA Ci Liwung DKI Jakarta. Depok: Skripsi tidak dipublikasikan. 
Schanze, J. (2006). Flood Risk Management – A Basic Framework. Dresden Flood Research Center (D-FRC), Dresden, Germany.
Steinberg, F. (2007). Jakarta: Enviromental Problem and Sustainability. Habitat Internasional, 31, 354-365.
Subarkah. (1987). Memanfaatkan Air Tanah dengan Memperhatikan Kelestariannya. Bandung: _.
Sujudi, A. et al. (2002). Menanggulangi Masalah Kesehatan Akibat Banjir: Pengalaman Menghadapi Bencana Banjir DKI Jakarta Awal Tahun 2002. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Suprapto. (2011). Statistik Pemodelan Bencana Banjir Indonesia (Kejadian 2002-2010). Jurnal Penanggulangan Bencana Volume 2 Nomer 2, 34 - 43.
Tambunan, M. (2007, Nopember). Flooding Area in the Jakarta Province on February 2 to 4 2007. Paper presented at the 28th Asian Conference on Remote Sensing, Kuala Lumpur, Malaysia.
Tanuwidjaja et al, (2010). Creative Collaboration in Urban Polder in Jakarta, in the Framework of Integrated Water Management. Paper presented at the Arte-Polis 3 International Conference on Creative Collaboration and the Making of Place, Jakarta, Indonesia.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Bencana.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
United Nations Framework Convention on Climate Change. (2007). Climate Change: Impacts, Vulnerabilities And Adaptation In Developing Countries. United Nations Framework Convention on Climate Change.
Wibowo, A. (2005). Evaluasi Kondisi Daya Dukung Lingkungan Hidup Wilayah Jakarta. Tesis. Program Studi Ilmu Lingkungan, Pascasarjana UI.
Wibowo, A. et al. (2009). Pemetaan Ekologis Sempadan Sungai (Studi Kasus Ci Liwung di Perbatasan DKI Jakarta dan Kota Depok). Jurnal Geografi Volume 2 No. 1, 61-71.
Wiryomartono, B. P. (2002). Urbanisasi dan Seni Bina Perkotaan. Jakarta: Balai Pustaka

Posting Komentar

0 Komentar