PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BERKELANJUTAN DI WILAYAH BANTARAN SUNGAI (Studi Keberlanjutan Lingkungan Bantaran Sungai di Daerah Khusus Ibukota Jakarta)


Oleh: Ahmad Munir, 1306501210

1. Latar Belakang

Jakarta adalah wilayah dataran alluvial dengan topografi yang landai dan dialiri oleh sungai-sungai yang bermuara di Laut Jawa. Sebagian wilayah DKI Jakarta terletak dibawah permukaan air laut. Kondisi topografi yang demikian, menyebabkan banjir sering melanda wilayah DKI Jakarta. Banjir Jakarta tidak lepas dari kondisi fisik wilayah DKI Jakarta. Padahal sungai yang mengalir di Jakarta dapat berfungsi sebagai sumber daya, yang dapat dioptimalkan fungsi dan peranannya. Namun saat ini sungai dan bantarannya tidak menjadi bagian dari sumber daya alam, tetapi lebih banyak menjadi masalah bagi lingkungan perkotaan, khususnya bantaran Ciliwung di DKI Jakarta.

Berbagai upaya pengendalian banjir banyak dilakukan di sungai-sungai yang mengalir di Jakarta, namun masalah banjir tidak kunjung usai. Pada ahir abad ke-19, dibangun sodetan sungai di bagian Barat pintu air Manggarai ke Muara Angke untuk melindungi Jakarta akibat banjir luapan Sungai Ciliwung. Sejak tahun 1960, Pemerintah Jakarta mulai menyadari bahwa banjir perlu mendapat perhatian utama. Pada tahun 1965, pemerintah membentuk Lembaga Kopro Banjir melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1965 tanggal 11 Februari 1965. Tahap pertama, dibangun Waduk Pluit dan rehabilitasi sungai di sekitarnya untuk menanggulangi banjir di Jakarta Kota (seluas 2090 ha). Tahap kedua, dibangun Waduk Setia Budi pada Tahun 1969 untuk menanggulangi banjir di Daerah Setia Budi (seluas 310 ha) akibat luapan kali Cideng. Pada waktu yang sama dibangun waduk melati untuk menanggulangi banjir di Jalan Thamrin dan sekitarnya (seluas 185 ha). Prinsip dasar pengendalian banjir yang dilakukan di Jakarta adalah dengan mengalirkan air yang masuk ke Jakarta (Sujudi et, al. 2002). Pada ahirnya, pola pengelolaan banjir lebih banyak menggunakan pendekatan teknik, yakni dengan mengalirkan air secepatnya ke laut.

Masalah utama dari banjir DKI Jakarta adalah banjir dikendalikan dengan menghilangkan potensi sumber daya alam yang ada, yakni pengendalian banjir dengan berbagai program normalisasi, mengubah sumber daya lingkungan, berupa ekosistem bantaran sungai dengan dominasi vegetasi riparian, dan pendekatan teknik dalam pengendalian banjir, yang berprinsip pada membuang air secepat-cepatnya ke laut. Masalah ini telah terjadi sejak masa penjajahan hingga saat ini, yakni pendekatan penanganan banjir tergolong tidak ramah lingkungan. 

Dalam konteks perencanaan ruang, penanganan masalah banjir selalu bertentangan dengan prinsip pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Paradigma perencanaan pembangunan di DKI Jakarta banyak mengabaikan aspek lingkungan sebagai bagian dari sumber daya yang perlu dimanfaatkan. Pengendalian banjir abad ke-19 yang diperkenalkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, dilanjutkan Masterplan 1973 dan Masterplan 1979. Tahun 2010, pengendalian banjir tertuang dalam Masterplan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan menekankan pada proyek infrastruktur Koridor Jawa dengan nama Proyek Banjir Kanal Timur (BKT) sepanjang 23,5 km dengan nilai investasi 4900 miliar rupiah tahun 2011-2015 (Lampiran Proyek MP3EI, 2011). Dari keseluruhan perenanaan,  fokus perencanaan ruang lebih banyak pada aspek teknis, mencegah banjir bukan mengedepankan aspek lingkungan dan mengoptimalkan sumber daya air yang tersedia, sebagai sumber air baku. Padahal Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta (2010) menetapkan komponen ruang terbuka hijau sebesar 30% dari total luasan yang tersedia, yang berarti sangat berorientasi pada lingkungan. 

Banjir dan sumber daya alam menjadi dua gejala yang saling bertentangan. Banjir merusakan aset dan sumber daya yang dimiliki oleh kota. Banjir juga masuk dalam kategori bencana, yang dapat menimbulkan korban jiwa serta kerugian material. Dari aspek lingkungan, banjir membawa endapan lumpur dan sedimen yang dapat merusak tatanan ekosistem sungai dan endapan di hilir yang sangat merugikan. 

Paper ini dimaksudkan untuk menelaah keberlanjutan lingkungan bantaran sungai sebagai sumber daya alam di DKI Jakarta. Pendekatan dalam penulisan ini adalah deskriptif-kualitatif. Pokok masalah sumber daya alam di bantaran Sungai Ciliwung aktual secara aktual mengalami kerusakan, faktor apa yang paling dominan berperan dalam kerusakan bantaran sungai? Bagaimana keseimbangan ekologi berperan dalam konsep pembangunan bantaran sungai? Apa pendekatan yang paling efektif untuk mengurangi kerugian akibat kerusakan lingkungan dalam pengelolaan ekosistem bantaran sungai?

2. Pembahasan

2.1. Sumber Daya Alam di Bantaran Sungai 

Sumber daya alam sungai terdiri dari sumber daya alam fisik dan sumber daya hayati, baik dalam bentuk barang atau jasa lingkungan.  Lingkungan bantaran sungai adalah komponen lingkungan fisik (hewan, sungai, vegetasi, batuan dan udara) serta lingkungan sosial (manusia) yang saling berinteraksi membentuk jaring-jaring makanan yang saling menggantungkan. Secara ekologi, bantaran sungai adalah zona lindung tempat tumbuhnya vegetasi riparian dengan peran dan fungsi yang sangat besar bagi sungai dan wilayah di sekitarnya. 

Bantaran sungai memiliki kekayaan sumber daya alam berupa sumber daya lahan, sumber daya hutan dan sumber daya lingkungan (penyedia jasa oksigen) bagi lingkungan kota. Hal ini sejalan dengan pendapat (Kartawinata et al., 1987) bahwa ekosistem adalah suatu kawasan alam yang didalamnya tercakup unsur-unsur hayati (organisme) dan unsur-unsur non-hayati (zat-zat tidak hidup) serta antara unsur-unsur tersebut terjadi hubungan timbal balik. Sungai dan bantaran sungai pada dasarnya adalah kawasan bentang lahan yang mengandung komponen ekosistem, yang member manfaat pada sistem lingkungan yang ada. Bantaran sungai menjadi bentuk alami lingkungan berupa hutan alami dengan tingkat keanekaragaman yang cukup tinggi. Namun demikian, sistem kota yang sudah mantab cenderung mengokupasi bantaran sungai menjadi kawasan tanpa fungsi ekologi, dengan dominasi penggunaan tanah yang mengabaikan aspek lingkungan. 

Saat ini kondisi sungai dan bantaran sungai sudah banyak yang diubah bentuk asal dari morfologi dan alur sungai alaminya. Padahal Lingkungan bantaran sungai dan sempadan sungai di Indonesia cenderung mempola menjadi ekosistem hutan, yakni suatu tutupan vegetasi riparian dengan kerapatan tajuk tinggi dan tutupan vegetasi yang rapat yang sangat bermanfaat bagi keseimbangan sistem di lingkungan. Akan tetapi, daerah aliran sungai (DAS)) sebagai bentang kawasan, di mana manusia bertempat tinggal dan melakukan berbagai aktivitas, cenderung mengalami perubahan kenampakan, yang memicu terjadinya banyak bencana seperti longsor, erosi, sedimentasi dan banjir. Beberapa aktivitas manusia yang menyebabkan bencana salah satunya adalah mengubah kondisi bantaran menjadi kawasan pemukiman. Soemarwoto (1997) menyebutkan bahwa inti permasalah kerusakan lingkungan hidup adalah hubungan mahluk hidup, khususnya manusia dengan lingkungan hidupnya. Dalam konteks bantaran sungai, aktivitas penduduk menempati bantaran sungai adalah salah satu penyebab dari kerusakan ekosistem sungai, yang memicu timbulnya bencana. Jadi kerusakan ekosistem DAS dan bantaran sungai di dalamnya adalah akibat terganggunya sistem DAS dari aktivitas manusia di dalamnya. 

Sumber daya lahan paling kritis di perkotaan adalah sumber daya tanah (lahan) untuk berbagai kepentingan. Harga tanah di perkotaan dapat menjadi sangat tinggi, dikarenakan faktor permintaan yang tinggi, sementara itu, lahan tersedia dalam jumlah terbatas. Maka lahan menjadi objek pokok dalam pemenuhan kebutuhan berbagai sektor. Sumber daya tanah di samping langka juga mendatangkan manfaat secara langsung, baik sebagai aset ekonomi (investasi), aset sosial (kepentingan publik) dan aset lingkungan. Di perkotaan, khususnya kota Jakarta, jumlah tanah yang dimanfaatkan jauh lebih besar dibanding yang tidak dimanfaatkan. 

Permasalahan dari sisi pengelolaan sumber daya alam berupa lahan bantaran sungai antara lain:

a. Laju pemanfaatan sumberdaya terlanjutkan seharusnya tidak lebih besar dari laju regenerasi. Sumber daya lahan di tepian bantaran sungai adalah zona lindung, untuk manfaat jasa lingkungan, tidak untuk kawasan pemukiman. Jika pemanfaatan lahan bantaran cenderung mengarah pada pemanfaatan lain, selain zona lindung, maka kerusakan bantaran dan sungai dapat segera terjadi. Laju pertumbuhan penduduk dan penunggunaan tanah untuk pemukiman semakin besar, faktanya tidak diimbangi dengan laju penghijauan di wilayah perkotaan. Maka kota menjadi miskin sumber daya lahan untuk manfaat dan jasa lingkungan.

b. Emisi limbah seharusnya tidak lebih besar dari kapasitas asimiliasi lingkungannya. Kapasitas sungai di DKI Jakarta semakin menurun sebagai akibat dari banyaknya sampah yang terbuang dari wilayah bantaran sungai atau juga kiriman dari sungai di bagian hulu. Kemampuan sungai menampung limbah, tidak sepadan dengan akumulasi limbah yang dibuang oleh masyarakat. Akibatnya sungai terbebani dengan limbah dalam jumlah yang besar. 

c. Laju penggunaan sumberdaya tak terbarukan seharusnya tidak melebihi laju kreatifitas substisusi sumberdaya terbarukan. Di bantaran sungai ekosistem hutan adalah satu-satunya sumber daya terbarukan, yang dapat mengganti udara kotor dikota yang dihasilkan oleh polusi transportasi, rumah tangga dan industri. Penggunaan sumber daya alam berupa lahan adalah tidak terbarukan, namun tidak sebanding dengan sumber daya lahan yang terbarukan. 

Jadi faktor paling dominan berperan mempercepat kerusakan bantaran sungai adalah penggunaan lahan/tanah untuk kepentingan sektor pemukiman dan bangunan lainnya menjadi pemicu kerusakan ekosistem lingkungan bantaran sungai, yang sangat berperan bagi penyedia jasa lingkungan. Sumber daya alam bantaran sungai menjadi tidak berfungsi, akibat dari ganguan manusia terhadap lingkungan bantaran sungi.

2.2. Masalah Pengelolaan Sumber Daya Alam di Bantaran Sungai

Perdebatan tentang konsep kota yang berkelanjutan pada dasarnya bersifat dinamis. Tuntutan kota pada masa mendatang adalah kota mampu mandiri menyediakan segala kebutuhan di dalamnya, baik penyediaan lahan untuk bermukim bagi warganya. Penjenuhan kota terjadi karena kota tidak menyediakan lahan yang cukup untuk pemukiman warganya. Okupasi bantaran sungai adalah bentuk dari penjenuhan suasana kota,  yang tidak memungkinkan warga tinggal di rumah yang layak, sehingga muncul okupasi bantaran sungai. 

Beberapa masalah lahan di lingkungan perkotaan yang dihadapi saat ini antara lain:

a. Konversi lahan pertanian subur/produktif

b. Berkurangnya area resapan air

c. Berkurangnya ruang terbuka, ruang hijau, dan ruang publik

d. Over crowding/kesesakan

e. Kemacetan, kebisingan, polusi udara

f. Limbah: cair, padat, udara

g. Berubah/rusaknya landscape alami (tepian sungai, danau, pantai, gunung)

h. Terganggunya bio-diversity

i. Erosi tanah (land sliding)

j. Berubah/rusak/hilangnya warisan budaya/heritage properties (bangunan bernilai sejarah).


Faktanya tingkat kebutuhan akan lahan bagi masyarakat Jakarta tergolong tinggi, padahal jumlah lahan yang tersedia makin menurun. Ini menyebabkan jejak ekologi warga bantaran sungai cenderung meningkat. Sumber daya alam yang dipakai untuk pemenuhan kebutuhan perumahan saja, telah berdampak pada penurunan kemampuan lahan menyediakan sumber pangan. Hal ini menyebabkan daya dukung lahan makin menipis. Jika dilihat dari sudut pandang keberlanjutan sumber daya antar generasi maupun di dalam generasi sendiri, tidak terjamin keberlanjutan, karena terjadi ketidakstabilan ekosistem bantaran sungai. Lingkungan buatan mendominasi wilayah bantaran dalam bentuk bangunan tanggul dan pemukiman kumuh. 

Dari sudut keterbatasan lahan dan kompetisi kepemilikan lahan antar sektor sangat berpotensi menurunkan tingkat kestabilan ekosistem bantaran sungai. Dominasi kepentingan penggunaan lahan untuk peruntukan pemukiman dan bangunan lainnya, menyebabkan lahan semakin terbatas dan menurunkan daya dukungnya untuk mendukung ekosistem sungai. Apalagi dihadapkan dengan bencana banjir, semakin besar ancaman, bahaya serta risiko terhadap kerusakan sumber daya lingkungan. Masalah tersebut pada ahirnya menyebabkan masalah turunan berupa kerugian banjir, dan pada perkembangannya semakin meluas genangan dan jumlah kerugian yang diderita. 

Tabel 1.1 Banjir utama di Jakarta

No Variabel Banjir 1996 Banjir 2002 Banjir 2007 Banjir 2013

1 Luas genangan (km2) Tidak diketahui 330 400 > 400 (tentatif)

2 Jumlah genangan (lokasi) 90 160 79 109

3 Intensitas hujan (mm/ hari) 288.7 361.7 401.5 40-125 (tentative)

4 Evakuasi (jiwa) 30 ribu 380 ribu 398 ribu >100 ribu

5 Meninggal (jiwa) 10 22 57 15 (tentatif)

6 Kerugian (Rupiah) >1 Trilliun 1.8 Trilliun 8 Trilliun

(Sumber: Pengolahan data dari berbagai sumber, 2014)

Jadi masalah yang muncul menjadi semakin komplek, banjir menjadi masalah yang merugikan secara ekonomi. Kerugian ekonomi adalah masalah vital setelah banjir tidak dapat ditanggulangi. Banjir menjadi fenomena yang krusial harus ditangani. Kerugian ekonomi yang diderita mencapai 8 trilliun akibat banjir Tahun 2007. Maka tantangan banjir adalah mengurangi dampak kerugian secara ekonomi. Salah satu upaya yang dijalankan adalah penanggulangan banjir, dengan asumsi akan timbul efisiensi akibat dampak banjir yang terjadi. 

Pilihan untuk tetap bertahan bagi penduduk yang menempati wilayah bantaran sungai adalah dengan bertahan, beradaptasi dan mengintervensi. Pada strategi bertahan, penduduk tetap bertahan di wilayah bantaran sungai walaupun dengan kondisi tidak layak, dan pilihan relokasi tidak cukup menarik bagi penduduk yang telah lama tinggal di bantaran Sungai Ciliwung. Sehingga strategis adaptasi juga dipilih, dengan menyesuaikan jenis bangunan dan mengungsi saat terjadi banjir. Intervensi terhadap lingkungan belum banyak dilakukan sehingga strategi ini tidak cukup berhasil mengatasi masalah lingkungan bantaran sungai. Intervensi pemerintah yang paling efektif, untuk mengatasi lingkungan bantaran sungai. 

Pendekatan yang digunakan untuk menanggulangi banjir berorientasi pada pendekatan ekonomosentris. Sementara orientasi ekologi cenderung tidak diperhatikan. Hal yang paling mudah dijumpai adalah banyaknya proyek penanggulangan banjir berbasis teknis, misalnya dengan normalisasi sungai melalui pengerukan dan pembangunan tanggul. Jadi pemerintah melakukan penanggulangan banjir banjir pada dasarnya untuk meminimalisir dampak kerugian dengan menyeimbangkan antara biaya (investasi) penanggulangan bencana dengan penurunan dampak yang diharapkan. Diharapkan akibat banjir tidak menyebabkan kerugian material dan korban jiwa, namun pendekatan ekonomosentris lebih dipakai dibanding ekologis, justru mendatangkan kerugian yang berlipat. 

Pandangan untung-rugi dalam konteks banjir melahirkan alternatif penyelesaian masalah lingkungan lebih dari sisi ekonomi. Pendekataan ekonomosentris ini terlihat dengan pola pembangunan dalam penanggulangan bencana. Pola penanggulangan dengan pembangunan tanggul, untuk mengalirkan air ke laut adalah jalan alternatif, Penanggulangan ini bersifat jangka pendek dan hasilnya sangat merusakan kondisi fisik lingkungan. Bantaran sungai ditanggul dan sungai dikeruk menyebabkan ekosistem di bantaran sungai mati dan tidak tersisa. Ekonomosentris menjadi akar masalah dalam penanganan banjir Ciliwung bagi sistem lingkungan (ekologi). Pada ahirnya, banjir tidak kunjung usai dan tidak tersedia sumber daya yang dapat dimanfaatkan dari sumber sungai. Pendekatan ini dipandang tidak tepat.

Maka untuk menyelesaikan masalah banjir dan pemulihan ekologis, perlu keterlibatan semua elemen, dengan harapan kelompok-kelompok kecil antar elemen tersebut, melakukan tindakan positif mencegah terjadinya banjir. Dengan keterlibatan semua pihak diharapkan, lingkungan berlanjut, dampak sosialnya nyata dan memberikan sumbangan bagi pertumbuhan.

2.3. Pendekatan Pengelolaan Ekosistem Bantaran Sungai

a. Penataan Ruang dalam Pengelolaan Sumber Daya Lahan Bantaran Sungai

Sumber daya wilayah bantaran sungai adalah sumber daya alam alam fisik maupun non fisik yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai sektor, khususnya dalam mendukung keberlangsungan lingkungan kota. Pemanfaatan zona bantaran sungai untuk pengembangan wilayah adalah sumber daya ekologi yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai pengembangan. Kondisi lingkungan bantaran sungai adalah kondisi lingkungan alami berupa vegetasi riparian di sepanjang kiri dan kanan sungai yang berfungsi menahan laju pengikisan tanah oleh arus air sungai.  Maka masalah lingkungan perkotaan sebagai wilayah pusat jasa dan perdagangan berdampak pada tingginya laju okupasi lahan oleh warga, baik yang legal maupun yang illegal. 

Jika strategi pengembangan wilayah bantaran sungai dilanjutkan, maka keuntungan dari keberadaan ekosistem riparian di tepi kiri dan kanan sungai diantaranya yaitu: menahan laju erosi, menjaga lingkungan sungai dan tanggul sungai dari bahaya longsor, serta menjadi penyedia jasa lingkungan (penyerap CO2). Berbagai keuntungan tersebut akan hilang dan menurun, apabila intervensi manusia terhadap lingkungan bantaran sungai tinggi. Intervensi utamanya dalam bentuk pengembangan dan pembangunan tanggul pengganti vegetasi riparian. 

Strategi sosial perlu dilakukan untuk menjaga lingkungan bantaran sungai tetap pada kondisi optimum dalam menyediakan fungsi, jasa dan perannannya. Strategi sosial juga diarahkan untuk mendatangkan keuntungan sosial, yakni kebermanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Disamping strategi sosial juga diperlukan tindakan manusia yang tidak mengarah pada tindakan destruktif. Manusia memiliki peran sangat besar dalam menjaga kelangsungan ekosistem bantaran sungai dari kerusakan. Tindakan manusia menjadi faktor dominan mengenai kondisi fisik bantaran sungai dan keberlanjutanya.

b. Solusi Masalah Lingkungan Bantaran Sungai

Keberlanjutan/kemampanan (sustainability) adalah terjaminnya ketersediaan sumber daya alam dalam lingkungan untuk generasi mendatang. Dalam konsep urban atau perkotaan, kota dikatakan berlanjut apabila perencanaan pembangunan di perkotaan memenuhi kaidah pembangunan berkelanjutan. Dalam teori ekologi, keberlanjutan bermakna terjadinya proses dan interaksi yang bersifat seimbang antara kondisi ekosistem saat ini dengan ekosistem pada saat mendatang. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjelaskan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup, serta keselamatan, kemampuan dan kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi pada masa yang akan datang. 

Pembangunan berkelanjutan membutuhkan perubahan fundamental dari paradigma pembangunan konvensional. Pertama, pembangunan berkelanjutan mengubah perspektif jangka pendek menjadi jangka panjang. Kedua, pembangunan berkelanjutan memperlemah posisi dominan aspek ekonomi dan menempatkannya pada tingkat yang sama dengan pembangunan sosial dan lingkungan (Salim, 1987).  Jika dikaji dari sisi paradigma pembangunan berkelanjutan, maka upaya untuk mengatasi permasalahan banjir perlu dilakukan dengan pendekatan bertahap, berjenjang, dan berkelanjutan. Kondisi akan terlihat pada pola pengendalian masalah banjir yang menyeluruh (holistik) dan terpadu dengan mempertimbangkan spek ekonomi, sosial dan lingkungan secara bersama-sama.

Masalah bantaran sungai dan okupasi yang terjadi, serta program pemerintah yang tidak sejalan dengan prinsip ekologi, telah berdampak pada kerusakan ekosistem bantaran yang semakin sistematik. Kerusakan ekosistem tidak menjadi bagian yang diperhitungkan, akibat konsepsi pembangunan bantaran sungai yang terjebak pada pandangan, bantaran sungai sebagai penyebab banjir. 

Padahal kaidah kesempurnaan adaptasi di lingkungan perkotaan tidak sama dengan kemampuan adaptasi di lingkungan alami. Dominasi penggunaan tanah untuk tempat tinggal bagi kota Jakarta, menyebabkan Penduduk dapat datang ke Jakarta dan menjadi penduduk Jakarta secara informal. Hal ini berpotensi memicu pertumbuhan pemukiman bantaran sungai dalam jumlah besar. Santri (2008) menemukan jawaban bahwa intervensi terhadap bantaran sungai Ciliwung sudah sangat besar di bagian hilir. 

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjelaskan bahwa kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampui kriteria baku lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan di bantaran sungai terlihat dari pola perubahan alur sungai. Secara alami morfologi sungai akan bergerak mengikuti alur batuan alami, pada struktur geologi yang terbentuk. Secara ekologi, kerusakan sungai akan terlihat dari dominasi lingkungan buatan dibanding dengan lingkungan alamiah, yang berarti intervensi manusia lebih besar dibanding lingkungan alamiahnya.

Standar dari kerusakan adalah terpenuhinya ambang batas kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Standar lingkungan sungai adalah terpenuhinya fungsi dan peranan sungai sebagai pengendali air, yang dapat menahan laju air dan tidak mengalami pencemaran, sehingga memenuhi standar baku konsumsi. Kondisi alamiah sungai yang ideal adalah terlindunginya wilayah bantaran dari intervensi manusia. Sebaliknya, bantaran sungai akan menjadi ancaman apabila intervensi manusia terhadap lingkungan alamiah bantaran sungai terlalu besar. Intervensi yang terlalu besar itu akan mengancam kerusakan lingkungan bantaran, juga menimbulkan masalah baru apabila sungai mengalami peningkatan debit, yang bisa memicu masalah banjir. Perubahan langsung dari sisi fisik sungai akan terlihat dari berubahanya bantaran alami, dari tutupan lahan berupa vegetasi menjadi lahan bantaran dengan tutupan beton permanen. Lingkungan buatan ini mendorong air dari sisi bantaran sungai tidak bergerak pada alur yang sesuai, sehingga  memicu genangan-genangan baru yang berdampak pada kejadian banjir.

Di samping itu, perlu transformasi pemahaman mengenai kawasan bantaran sungai sebagai zona lindung. Transformasi pemahaman perlu dilakukan dari level pengambil keputusan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), sampai pada level masyarakat pemilik lahan. Transformasi pemahaman tentang zona lindung di kawasan bantaran juga perlu dipadukan dengan kebijakan pengelolaan DAS secara keseluruhan. Wilayah penopang DAS Ciliwung di bagian hulu juga perlu mendapat transformasi pemahaman tentang pentingnya menjada sungai dan mencegah penggundulan hutan di wilayah hilir. Initinya transformasi perlu dilakukan menyeluruh terhadap berbagai aspek, yang memungkinkan bantaran ciliwung pulih menjadi ekosistem yang bermanfaat bagi keseimbangan lingkungan. 

Beberapa strategi dapat dimanfaatkan untuk mengoptimalisasi peran dan fungsi bantaran sungai di perkotaan, khususnya bantaran Ciliwung di DKI Jakarta dapat dilakukan dengan cara:

a. Pembebasan pajak untuk kawasan hijau tepian sungai yang ditetapkan sebagai zona lindung. Kepemilikan lahan baik sektor privat, ataupun sektor publik, yang memanfaatkan bantaran sungai sebagai zona lindung dan membentuk ekosistem hutan mulai dibayar oleh negara. 

b. Aktualisasi nilai ekonomi dari jasa lingkungan berbentuk hutan di tepian bantaran sungai dapat dilakukan dengan menggunakan mekanisme instrumen ekonomi untuk pengelolaan lingkungan/ekosistem seperti: perencanaan pembangunan (internalisasi-eksternalitas), willingness to accept,  tata ruang, tata kelola produksi hasil hutan ekosistem bantaran. 

c. Pendanaan lingkungan untuk pemulihan atau restrukturisasi penggunaan lahan untuk pengelolaan hutan lindung tepi bantaran sungai.

d. Mekanisme Insentif dan disinsentifmeningkatkan demand pada produk hijau. Mekanisme kredit lunak dengan jaminan batang pohon, bagi pelaku usaha penghijauan atau pembinaan lingkungan perlu dilakukan. Pohon menjadi garansi bagi kredit lunak perbankan. 

e. Financing and fiscal policy dalam bentuk investasi (investment market and bank investment policy), green GDP in forestry sector, green budgeting, green tax. Bentuk komitmen investasi yang ramah lingkungan menjadi garansi bagi pembangunan di Indonesia yang berkelanjutan. 


3. Penutup

Ekosistem bantaran sungai dengan segala kompleksitas memiliki fungsi secara ekologis sebagai penjaga keseimbangan lingkungan sungai. Di dalamnya terdapat kawasan lindung yang terdiri dari unsur-unsur hayati (organisme) dan unsur-unsur non-hayati (zat-zat tidak hidup). Faktor paling dominan berperan mempercepat kerusakan bantaran sungai adalah penggunaan lahan/tanah untuk kepentingan sektor pemukiman dan bangunan lainnya menjadi pemicu kerusakan ekosistem lingkungan bantaran sungai. Keseimbangan ekologi menjadi konsep pembangunan yang paling sesuai untuk keberlanjutan lingkungan bantaran sungai. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan pula, bantaran sungai Ciliwung perlu dikelola dengan pendekatan penataan ruang berbasis keseimbangan ekosistem agar lingkungan dapat berfungsi sebagai penyedia jasa lingkungan. 

DAFTAR PUSTAKA

Adger. 2006. Vulnerability. Global Enviroment Change 16 (2006) 268-281.

Anquetin, Sandrine. et al. Human exposure to flash floods – Relation between flood parameters and human vulnerability during astorm of September 2002 in Southern France. 

Daungthima Wittaya dan Hokao Kazunorib. 2012. The 3rd International Conference on Sustainable Future for Human Security - Sustain Assessing the flood impacts and the cultural properties vulnerabilities in Ayutthaya, Thailand. Procedia Environment Science.

http://www.pu.go.id/infopeta/rwnbanjir/bencana2007/31indexdkibanjir.htm   diakses 15/10/2014

Karim, Mulyawan. 2009. Ekspedisi Ciliwung Laporan Jurnalistik Kompas, Mata Air, Air Mata. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

Kodoatie, Robert J., et, al. 2006. Pengelolaan Bencana Terpadu. Jakarta: Yasrif Watampone (Anggota IKAPI).

Prawiranegara, Mirwansyah. 2014. Spasial Multi-Criteria Analysis (SMCA) for Basin-Wide Flood Risk Assasment As A Tool In Improving Spatial Planning  

Prihatin, Rohani Budi. 2013. Banjir Jakarta Warisan Alam dan Upaya Pengendalian. Yogyakarta. INSIST Press.

Ramli, Suhatman. 2010. Pedoman Praktis Manajemen Bencana (Disaster Management). Jakarta: PT. Dian Rakyat.

Salim, Emil. 1987. Paradigma Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Yayasan Obor.

Santri, Sari Aulia. 2007. Karakteristik Sempadan dan Korelasinya dengan Wilayah Rawan Banjir DA Ci Liwung DKI Jakarta. Depok: Skripsi tidak dipublikasikan. 

Santri, Sari Aulia. 2007. Karakteristik Sempadan dan Korelasinya dengan Wilayah Rawan Banjir DA Ci Liwung DKI Jakarta. Depok: Skripsi tidak dipublikasikan.

Schanze, Jochen. 2006. Flood Risk Management – A Basic Framework. Dresden Flood Research Center (D-FRC), Dresden, Germany.

Steinberg, Florian. 2007. Jakarta: Enviromental Problem and Sustainability. Manila. Habitat Internasional 31 (2007) page 354-365.

Sujudi, Achmad et, al. 2002. Menanggulangi Masalah Kesehatan Akibat Banjir: Pengalaman Menghadapi Bencana Banjir DKI Jakarta Awal Tahun 2002. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Tambunan, Mangapul. 2007. Flooding Area in the Jakarta Province on February 2 to 4 2007. Department of Geography, University of Indonesia, ACRS. 

Tumiwa, Fabby. 2010. Strategi Pembangunan Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim: Status dan Kebijakan Saat Ini. Jakarta: Friedrich-Naumann-Stiftung fur die Freiheit, Indonesia. 

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Bencana.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Wiryomartono, Bagoes P. 2002. Urbanisasi dan Seni Bina Perkotaan. Jakarta: Balai Pustaka.

Yoo, Gayoung. 2014 et al. A Metodology to Assess Enviromental Vulnerability in a coastal city: Application to Jakarta, Indonesia. Ocean and Coastal Management. 102 (2014) 169-177.


Posting Komentar

0 Komentar